Oleh Rudi Nurdiansyah
KASUS HUKUM kembali dijadikan sebagai komoditas politik. Kehadiran Gubernur Bengkulu Helmi Hasan di Kejaksaan Agung pada 30 Juli 2025 langsung “digoreng” dengan narasi sesat dan tudingan tak berdasar. Padahal, fakta hukumnya jelas: Gubernur Helmi Hasan datang sebagai saksi, bukan tersangka, apalagi terpidana.
Namun sebagian pihak buru-buru membentuk opini seolah kehadiran itu merupakan bukti keterlibatan dalam tindak pidana. Mereka menutup mata terhadap substansi perkara dan menolak melihat sosok Helmi Hasan dalam sudut pandang yang jernih: seorang pemimpin religius, sederhana, dan terbukti bersih dari korupsi sepanjang dua periode menjabat sebagai Wali Kota Bengkulu.
Tuduhan demi tuduhan memang bukanlah hal baru bagi pejabat publik, apalagi yang memiliki rekam jejak bersih dan basis dukungan rakyat yang kuat. Tetapi ketika fitnah terus dipelihara dan dibungkus seolah kritik, publik wajib waspada. Kita tidak sedang menyaksikan kontrol demokrasi, melainkan pembunuhan karakter.
Helmi Hasan bukan pemimpin instan. Ia menjalani dua periode kepemimpinan di Kota Bengkulu tanpa satu pun kasus korupsi yang terbukti secara hukum. Bahkan ketika sempat dijadikan tersangka dalam kasus bantuan sosial saat periode pertama menjadi Wali Kota, pengadilan dengan tegas menyatakan beliau tidak bersalah. Ia tidak memperkaya diri sendiri, tidak memperkaya orang lain. Ini bukan opini, ini fakta pengadilan.
Lebih jauh, rekam jejak bersih ini telah diuji melalui mekanisme demokrasi. Helmi Hasan terpilih periode kedua menjadi Wali Kota tanpa kampanye. Bahkan sekarang rakyat Bengkulu memilihnya sebagai Gubernur. Rakyat bukan hakim yang naif, mereka mengenal Helmi Hasan, mereka tahu siapa yang mereka percayakan memimpin daerah ini. Pemimpin yang mampu merakyat tanpa mencitrakan diri, memimpin dengan kinerja dan akhlak, bukan dengan simbol semata.
Pemeriksaan yang dijalani Helmi Hasan di Kejaksaan bukan karena dugaan kesalahan, melainkan sebagai klarifikasi atas dokumen-dokumen resmi yang ia keluarkan saat menjabat sebagai Wali Kota. Dokumen yang justru memperlihatkan keberpihakan beliau terhadap perlindungan aset daerah, menyurati perbankan agar menolak pinjaman oleh pengelola Mega Mall, berkonsultasi dengan BPKP, dan mencegah kebocoran PAD yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.
Apakah ini laku seorang yang berniat merugikan negara? Tentu tidak. Hanya orang yang sudah gelap mata politik yang bisa menafsirkan itu sebagai niat jahat.
Jangan Biarkan Politik Kotor Menyesatkan Publik
Dalam sejarah demokrasi, politisasi hukum telah menjadi cara kotor yang berulang kali dipakai untuk menjatuhkan lawan. Isu dibumbui, fakta dikaburkan, dan yang tersisa hanya prasangka. Ini bukan kritik konstruktif, ini adalah perusakan reputasi dengan kedok kontrol publik.
Sudah saatnya masyarakat Bengkulu bersikap dewasa. Jangan membiarkan isu fitnah memecah belah kepercayaan yang telah dibangun atas dasar bukti, bukan rumor. Helmi Hasan, dengan segala kesederhanaannya, adalah contoh pemimpin yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang pengabdian, bukan alat memperkaya diri.
Ia bukan pemimpin yang sibuk mengumpulkan harta. Ia lebih dikenal aktif dalam dakwah, dan kegiatan sosial. Saya sendiri bahkan Allah subhanahu wa ta’ala berikan hidayah sebab dari pengorbanan beliau dalam dakwah.
Dalam masyarakat yang mudah tergoda materi, keberpihakan Helmi Hasan pada amal dan usaha atas agama adalah sesuatu yang langka dan layak diteladani.
Helmi Hasan mungkin tidak sempurna. Tapi sejauh ini, ia membuktikan bahwa kepemimpinan bisa bersih dan religius sekaligus. Ia hadir di tengah rakyat, menyelesaikan masalah tanpa drama, dan menghadapi proses hukum tanpa menyalahkan siapa pun.
Kita semua, sebagai bagian dari masyarakat Bengkulu, memiliki tanggung jawab untuk menjaga marwah demokrasi dan kejujuran dalam informasi. Jangan biarkan permainan politik merusak karakter seorang pemimpin yang telah diuji oleh waktu, jabatan, dan ujian hukum.
Sebagai rakyat, tugas kita bukan hanya memilih pemimpin, tapi juga menjaga mereka dari kezaliman fitnah. Sebab sejarah akan mencatat, siapa yang berdiri di sisi kebenaran, dan siapa yang memilih diam di tengah ketidakadilan. Wallahu a’lam
Penulis adalah Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta