Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

13 Jam Menuju Enggano, Menyibak Tabir Pulau yang Katanya Terlupakan (2)

13 Jam Menuju Enggano, Menyibak Tabir Pulau yang Katanya Terlupakan (2) (foto: dok pribadi Oktaliansyah)

Sudut Pandang Okta

MALAM itu kami bermalam di Koramil Enggano. Alhamdulillah, para tentara di sana menyambut kami dengan tangan terbuka. Ruang kecil yang kami tempati berubah hangat oleh keramahan mereka. Di tanah yang jauh ini, sikap tulus menjadi tuan rumah yang sesungguhnya.

Keesokan paginya (22/7), perjalanan kami lanjutkan menuju ujung jalan, Desa Banjar Sari, permukiman yang tenang dan rapi di sisi barat laut Enggano. Sebelum tiba di kantor desa, perut kami menuntut sarapan. Kami berhenti di sebuah warung kecil, aroma lotek menguar, menggoda dalam kesederhanaannya.

Di sana kami berjumpa pasangan suami-istri penjual makanan. Sang suami, ternyata berasal dari Sawah Lebar, Kota Bengkulu.

“Kami ke sini cari peruntungan, Bang. Soalnya di sini dikenal sejahtera,” katanya sambil tersenyum.

Ungkapan sederhana itu mengguncang. Jika Enggano benar-benar kelaparan, mengapa justru orang dari kota datang mencari nafkah di sini?

Tak lama kemudian di Kantor Desa, kami disambut oleh Kepala Desa Banjar Sari, Winarto Rudi Setiawan, masyarakat akrab menyapanya Rudi Enggano. Begitu kami menyinggung isu “warga kelaparan”, ia langsung angkat suara.

“Itu informasi yang menyesatkan. Kami waktu itu panen. Hasilnya surplus. Petani kami yang menyuplai beras di pulau ini.”

Menurut Winarto, kelaparan hanyalah narasi menyesatkan yang beredar di permukaan. Yang terjadi sebenarnya adalah berkurangnya daya beli warga, akibat pendangkalan alur Pelabuhan Pulau Baai. Kapal sulit keluar masuk. Hasil bumi tak bisa dijual ke luar.

“Yang benar, hasil ada, tapi distribusi terganggu. Itu beda jauh dengan kelaparan,” ujarnya tegas.

Kami kembali terdiam. Fakta di depan mata begitu kontras dengan bayang-bayang yang diciptakan oleh narasi digital.

Laut yang Bernyanyi, Danau Bermata Biru

Setelah itu, kami menelusuri pantai dari arah Desa Banjar Sari. Mata kami dimanjakan oleh pemandangan yang belum banyak dikenal dunia, laut berwarna biru tua dan muda bergradasi, pasir putih yang membentang halus, ombak kecil menari-nari seperti puisi yang dihembuskan angin samudra.

Tak jauh dari sana, kami tiba di sebuah danau yang disebut warga Bak Blau, atau mata biru. Danau ini terhubung langsung dengan laut. Indah, tenang, dan alami. Tempat ini seolah belum terjamah tangan industri, seperti surga kecil yang belum diberi nama dalam peta wisata.

Potensinya besar, tapi belum tergarap. Layaknya mutiara yang masih tersembunyi dalam cangkang kerang.

Ada Bandara, Ada Harapan

Banyak yang tak tahu bahwa Enggano juga memiliki Bandar Udara Enggano, yang letaknya cukup strategis untuk mendukung konektivitas dan pertumbuhan ekonomi. Seperti kata orang ekonomi koreksi kalau saya salah, “di mana ada bandara, di sana ada masa depan.”

Bandara ini bisa menjadi simpul kemajuan, jembatan penghubung antara pulau dan dunia luar. Tapi tentu, semua itu butuh perencanaan yang adil, bukan hanya label proyek.

Banjir Perhatian dari Daerah dan Pusat

Kabar baik pun datang bertubi. Enggano akan mendapat, Rp25 miliar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk membangun Kampung Nelayan. Cetak sawah seluas 800 hektar lebih dari Kementerian Pertanian. Rp100 miliar pembangunan jalan yang dijadwalkan bergulir pada tahun 2026. Dan banyak lagi.

Sebuah angka yang sulit dicerna tanpa membayangkan perubahan besar. Mungkin, teguran alam pendangkalan Pelabuhan Pulau Baai telah membuka mata banyak pihak, bahwa Enggano tak bisa terus diabaikan.

Enggano tidak diam. Enggano menjawab.
Lewat ladang-ladang yang menghijau dan ombak yang terus berdansa, Enggano berbicara, tentang harga diri, ketahanan, dan harapan yang tak bisa dibungkam.

Saya berdoa, semoga Enggano tetap lestari dalam jati dirinya, maju tanpa kehilangan akar, dan tumbuh tanpa menjadi tiruan tempat lain. Semoga perhatian dari pusat bukan hanya datang karena viral, tapi terus mengalir karena keadilan.

Sebab Enggano bukan cerita satu malam. Ia adalah wajah lain Indonesia, yang selama ini hanya tertutup debu ketidakpedulian.
Kami menulis agar pulau ini tak hanya terdengar, tapi juga dimengerti.

Penulis adalah Wartawan Provinsi Bengkulu.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *